Man’s Search for Meaning: Sebuah Pencarian Makna dalam Penderitaan

Alif Ramadhani
8 min readJun 12, 2024

“Man’s Search for Meaning” adalah sebuah karya klasik dalam psikologi dan literatur pengembangan diri yang ditulis oleh Viktor E. Frankl, seorang neurolog dan psikiater berkebangsaan Austria. Buku ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1946, merupakan catatan memoar Frankl tentang pengalamannya sebagai tahanan di kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II.

Dalam buku yang mengharukan ini, Frankl membagikan kisah perjuangannya untuk bertahan hidup di tengah kondisi yang begitu mengerikan dan tidak manusiawi di kamp konsentrasi Auschwitz dan Dachau. Namun, lebih dari sekadar memoar, buku ini menawarkan wawasan mendalam tentang sifat dasar manusia dan kemampuan kita untuk menemukan makna bahkan dalam situasi paling tragis sekalipun.

Melalui pengalamannya yang traumatis, Frankl mengembangkan sebuah pendekatan terapeutik yang ia namakan “logotherapy” (logo berarti “makna” dalam bahasa Yunani). Inti dari logotherapy adalah keyakinan bahwa hasrat untuk menemukan makna dalam hidup adalah motivasi utama bagi manusia untuk bertahan dan berkembang.

Dengan gaya penulisan yang jernih dan bertenaga, Frankl membagikan prinsip-prinsip logoterapi dan memaparkan bagaimana ia dan sesama tahanan lainnya mampu mempertahankan martabat dan kemanusiaan mereka dengan mencari makna di balik penderitaan yang mereka alami. Buku ini menjadi inspirasi bagi pembaca untuk terus berjuang menemukan makna dalam kehidupan mereka sendiri, terlepas dari tantangan yang dihadapi.

“Man’s Search for Meaning” telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia dan dianggap sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam psikologi abad ke-20. Buku ini mengajak kita untuk merefleksikan makna hidup kita sendiri dan menemukan kekuatan untuk menghadapi segala rintangan dengan optimisme dan ketabahan.

Menemukan Kekuatan dalam Penderitaan

Dalam situasi yang sangat menantang seperti pemenjaraan di kamp konsentrasi Nazi, tampaknya mustahil untuk menemukan makna atau kekuatan. Namun, Viktor Frankl, seorang psikiater yang selamat dari tragedi ini, membagikan wawasan berharga tentang bagaimana bertahan melalui penderitaan yang ekstrem.

Frankl mencatat bahwa narapidana awalnya mengalami syok mendalam ketika kehidupan normal mereka dirampas. Untuk bertahan, mereka mengembangkan sikap apatis, yang membantu mereka mematikan emosi dan melindungi diri sendiri. Ternyata, ketika bagian luar mengeras, bagian dalam bisa menjadi lebih kuat.

Banyak narapidana mempertahankan harapan dengan memvisualisasikan kehidupan setelah kamp dan berkhayal tentang masa depan yang lebih baik. Hasrat akan kebebasan dan cinta dari orang-orang yang mereka tinggalkan menjadi pendorong survival yang kuat.

Frankl menekankan pentingnya mencari makna bahkan di tengah kesengsaraan. Fokus pada politik, agama, seni, dan kenangan masa lalu yang lebih bahagia membantu narapidana mempertahankan kemanusiaan dan semangat mereka. Hubungan dan cinta menjadi kunci utama untuk menghadapi cobaan.

Kisah Frankl adalah pengingat bahwa penderitaan yang ekstrem tidak selalu menghancurkan martabat manusia. Dengan mengerahkan sumber-sumber batin seperti arti, harapan, dan cinta, kita dapat menemukan kekuatan bahkan dalam kondisi yang paling suram sekalipun. Pelajaran ini berlaku tidak hanya bagi para narapidana, tetapi bagi siapa pun yang menghadapi masa-masa sulit dalam hidup.

Those who have a ‘why’ to live, can bear with almost any ‘how.’
Victor E. Frankl

Menemukan Makna di Tengah Neraka Kamp Konsentrasi Nazi

Teori yang mengatakan manusia mampu bertahan dari situasi terburuk sekalipun telah teruji di kamp konsentrasi Nazi — tempat yang bisa digambarkan sebagai neraka di bumi. Meski mengalami penderitaan yang sama, ada segelintir orang yang selamat dan mampu menceritakan kisah mereka yang menggugah.

Di tengah kengerian itu, mereka menyadari bahwa pikiran tetap jernih dan hal-hal sederhana bisa memberi sukacita mendalam. Sesuatu yang sepele seperti mendapat dua potong roti ketimbang satu saja, sudah cukup membuat perbedaan besar bagi para tahanan di kamp kematian Polandia.

Terlepas dari situasi yang mereka hadapi, manusia memiliki pilihan untuk bertahan atau menyerah. Sebagian besar tahanan memang menggunakan cara-cara tercela untuk bertahan hidup dan menyalahkan lingkungan sekitar. Namun, hak untuk memilih jati diri sendiri tidak bisa direnggut dari seseorang.

Saat mencari makna dalam penderitaan, para tahanan melihatnya sebagai kesempatan untuk menemukan pemenuhan dan tujuan hidup. Pasalnya, hidup tidak akan lengkap tanpa cobaan. Dalam upaya bertahan, mereka tidak boleh kehilangan kemanusiaan.

Salah satu bagian tersulit yang dialami Viktor Frankl selama dipenjara adalah ketidakpastian kapan dia akan dibebaskan. Ketidaktahuan ini kerap membuat banyak tahanan menyerah dan membuang-buang waktu karena tak bisa membayangkan masa depan di luar jeruji besi.

Namun penderitaan akan kehilangan kekuatannya saat seseorang memahami maknanya. Pemahaman ini akan membebaskan ruang bagi iman pada masa depan dan memperkuat ketahanan spiritual dan mental. Inilah kunci untuk bisa bertahan melewati fase terkelam sekalipun.

When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves.
Victor E. Frankl

Makna Hidup: Kunci Mencapai Kebahagiaan dan Tujuan

Dalam perjalanan menuju kebahagiaan sejati, manusia tak bisa dipisahkan dari pencarian makna hidup. Makna merupakan motivasi utama kita, sebuah kerinduan naluriah akan sesuatu yang lebih besar dari realitas yang mengitari kehidupan kita sehari-hari. Inilah yang mendorong kita untuk terus melangkah dan meraih tujuan luhur.

Meski ada yang menganggapnya sebagai mekanisme pertahanan belaka, makna hidup melampaui rasionalitas dan menjadi keyakinan mendalam bahwa hidup perlu dikorbankan demi cita-cita dan nilai-nilai mulia tertentu.

Namun dalam upaya menemukan makna hidup, kita kerap mengalami “existential frustration” — konflik batin saat kesulitan mendefinisikan tujuan keberadaan kita. Hal ini bisa memicu ketegangan dan “noögenik neuroses” (tekanan mental) akibat gagal menemukan makna.

Justru inilah yang diperlukan agar kita terus bertahan dan bertumbuh. Menerima ketegangan dalam pencarian makna baru disebut “noö-dynamics” dan berlaku bagi semua individu. Rasa tidak puas dan hasrat untuk meningkatkan pencapaian adalah cara kita mewujudkan “keinginan untuk bermakna.”

Sayangnya, banyak orang masa kini mengalami “the existential vacuum” — perasaan hampa dan terisolasi akibat ketiadaan makna dalam hidup. Kondisi ini bisa memicu depresi, agresi, kecanduan, hingga upaya bunuh diri.

Di sinilah logoterapi — pengobatan psikoanalitik melalui pencarian makna — bisa membantu. Terapi ini mengisi kekosongan dengan tujuan hidup yang pasti, mencegah kita terjebak dalam kebiasaan merusak diri.

Makna hidup tak lain adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati dan tujuan mulia dalam mengarungi kehidupan yang penuh tantangan ini.

Mencari Makna Hidup yang Autentik

Pertanyaan “Apa makna hidup?” kerap membuat kita bingung mencari jawaban. Faktanya, makna hidup bersifat subjektif bagi setiap individu — tak ada definisi pasti yang berlaku umum. Makna hanya bisa ditentukan secara relatif, berdasarkan waktu, situasi, dan orang tertentu. Jadi alih-alih bertanya “Apa itu hidup?”, lebih baik kita bertanya “Apa makna hidup bagiku?”

Logoterapi, salah satu pendekatan psikoterapi, membantu pasien menyadari peran penting mereka dalam mendefinisikan eksistensi diri sendiri. Seorang logoterapis membantu pasien melihat kehidupan dengan lebih jernih.

Menurut logoterapi, ada tiga cara menemukan makna hidup:

  1. Melakukan tindakan yang mengalihkan dari penderitaan dan memberi kepuasan
  2. Mengalami sesuatu yang bermakna atau berinteraksi dengan orang yang dikasihi
  3. Mengembangkan sikap positif terhadap penderitaan yang tak terelakkan

Kita bisa menemukan makna dengan beraktivitas, menikmati budaya/alam, atau mengasihi seseorang. Cinta adalah satu-satunya cara untuk benar-benar mengenal esensi seseorang dan membantunya menemukan potensi diri.

Cara lainnya yakni melalui penderitaan itu sendiri. Penderitaan merupakan bagian hidup dan dengan demikian memiliki makna. Namun, penderitaan bukanlah prasyarat untuk mendapat makna.

Lalu, adakah makna hidup tertinggi? Ya, logoterapi berusaha mengidentifikasi “super-meaning” tersebut, tanpa memaksakan pandangan atau agama tertentu. Melainkan dengan memberi makna dalam konteks sistem kepercayaan pasien itu sendiri yang pada akhirnya menjelaskan hidup mereka.

Intinya, makna hidup bersifat personal dan subjektif. Dengan bimbingan logoterapi, kita bisa mencari makna autentik melalui aktivitas, hubungan, sikap positif, bahkan penderitaan sekalipun.

Mengupas Teknik Unik Logoterapi untuk Mengatasi Ketakutan dan Neurosis

Setelah disinggung sekilas sebelumnya, kali ini kita akan membahas lebih dalam mengenai logoterapi — pendekatan psikoterapi yang berbeda dari metode konvensional. Fokus utamanya adalah membantu individu mengatasi kesulitan keseharian seperti rasa takut.

Logoterapi telah mengembangkan teknik khusus untuk menangani titik awal yang sering dialami pasien neurotik, yakni “anticipatory anxiety” — ketakutan berlebihan akan sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi ini disebut “hyper-intention” dan memiliki kemiripan dengan “hyper-attention”, di mana pasien terlalu fokus pada suatu kondisi hingga justru memunculkan gejala penyakit.

Untuk mengatasinya, logoterapi menerapkan teknik “paradoxical intention”. Konsepnya adalah melibatkan pasien dalam pemikiran berlawanan yang justru bisa mendatangkan efek yang diinginkan. Misalnya, jika Anda takut berkeringat di depan umum, Anda diminta membayangkan “Saya harus berkeringat lebih banyak lagi kali ini.” Dengan membalikkan sikap terhadap masalah menjadi tantangan, ketakutan tersebut perlahan dapat diatasi.

Karena logoterapi berfokus memerangi neurosis, pendekatan awalnya dikaitkan dengan usia pasien. Bagi kebanyakan orang, neurosis merupakan bentuk nihilisme — keyakinan bahwa manusia hanya produk dari kondisi biologis, psikologis, sosiologis, keturunan, dan lingkungan semata. Perasaan “bukan apa-apa” ini sama dengan kekosongan eksistensial.

Logoterapi dengan tegas menyatakan bahwa manusia memang makhluk terbatas, namun bukan sekadar produk lingkungan. Kita juga bertanggung jawab atas apa yang dihasilkan oleh lingkungan tersebut. Sudut pandang inilah yang membedakan logoterapi dalam mengatasi permasalahan neurosis pada setiap individu.

Optimisme Tragis: Kunci Bertahan di Tengah Penderitaan

Dalam situasi seburuk apa pun, manusia selalu memiliki kekuatan untuk menentukan sikapnya sendiri. Tidak ada kondisi yang bisa sepenuhnya merampas “kebebasan” kita untuk memilih. Bahkan saat mengalami kondisi neurotik sekalipun, pasien masih memiliki sisa kebebasan untuk memutuskan apakah ingin disembuhkan atau tetap dalam keadaan itu.

Kita semua pada hakikatnya dikaruniai kekuatan untuk menentukan respons kita dalam menghadapi kesulitan ekstrem. Seseorang dapat mencari perlindungan dalam cinta atau menghargai kehidupan yang pernah dimilikinya sebelum penderitaan melanda. Inilah yang disebut “pan-determinism” — bagaimana pun situasinya, kita bisa bangkit menantang dan tidak membiarkan diri terinjak-injak keadaan.

Cara pandang ini dikenal sebagai “tragic optimism” — mempercayai bahwa ada sesuatu yang baik dalam situasi yang tampak putus asa. Dalam logoterapi, optimisme tragis berupaya:

  1. Mengubah penderitaan menjadi pencapaian manusiawi
  2. Memanfaatkan rasa bersalah untuk perbaikan diri
  3. Mengambil insentif dari sifat kehidupan yang fana

Kondisi ini tidak bisa dipaksakan (hyper-intensi), sebab kita membutuhkan alasan yang kuat untuk merasakan suatu emosi.

Seseorang dapat belajar menjadi optimis secara tragis jika dapat mengatakan pada dirinya sendiri untuk menemukan makna yang lebih besar dalam penderitaannya, tidak menyerah, atau tidak berpaling pada kesenangan sesaat seperti narkoba, seks, bahkan kejahatan. Tugas logoterapis adalah membantu pasien menemukan bagian tersisa dari dirinya dan menghidupkannya kembali, mengisi kekosongan yang menggerogoti jiwanya.

Intinya, optimisme tragis mengajarkan kita untuk tidak menyerah pada keadaan, tetapi terus mencari makna dan menemukan sisi baik dari situasi terburuk sekalipun. Itulah kunci untuk bertahan di tengah penderitaan.

Menemukan Makna dalam Penderitaan Adalah Kunci Menghadapi Badai Kehidupan

Kehidupan tak lepas dari saat-saat menyakitkan, bahkan bagi sebagian orang, penderitaan bisa mewarnai hampir sepanjang perjalanan. Namun, bagaimana kita bereaksi dalam menghadapi keadaan tersebut sepenuhnya tergantung pada diri sendiri. Tidak peduli seberat apa cobaan, situasi itu tidak bisa mengubah siapa diri kita sesungguhnya dan akan menjadi apa di masa depan. Justru kitalah yang harus mencari makna hidup sendiri dan berdamai dengannya.

Para tahanan di kamp konsentrasi Nazi adalah contoh nyata dalam menghadapi kondisi terburuk. Beberapa di antaranya berhasil keluar dengan jiwa dan pikiran utuh karena alih-alih membiarkan situasi mendefinisikan hidup, mereka terus mencari makna dan jawaban atas pertanyaan yang diberikan kehidupan.

Kita tidak bisa hidup tanpa makna, dan akan terus mencarinya sepanjang hayat. Penting untuk tidak terjebak dalam lingkaran kesusahan akibat krisis eksistensial. Kuncinya adalah menyadari bahwa tidak ada makna pasti dalam hidup. Kita sendirilah yang harus menciptakan makna itu.

Jangan anggap penderitaan sebagai bagian yang tak perlu, karena justru di situlah kita bisa bertumbuh. Peristiwa berat menguji kepribadian dengan memaksa kita memilih — tetap bersikap baik atau membalas dengan hal buruk. Ingatlah bahwa kita selalu punya kebebasan untuk menentukan sikap.

Tragedi memang tak terhindarkan dalam hidup. Namun kita bisa belajar menanggapinya dengan positif, salah satunya melalui optimisme tragis — menemukan harapan dan makna di tengah situasi menyakitkan. Strategi lain adalah berpegang pada hubungan terdekat yang paling bermakna.

Intinya, menemukan makna dalam penderitaan adalah kunci untuk menghadapi badai kehidupan dengan tabah dan tetap utuh sebagai manusia seutuhnya.

--

--

Alif Ramadhani

Seorang pegiat media sosial yang sibuk mencari eksistensi diri serta memiliki hobi minum teh dan melamun